Tentang Kami
Perkumpulan Skala, adalah lembaga nir laba yang berbentuk perkumpulan, beranggotakan para jurnalis berdiri tahun 2005, bekerja untuk
Bekerjasama dengan Adkasi (Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia) untuk melatih anggota DPRD merancang anggaran yang peduli dengan rakyat (pro poor budget) memperoleh dukungan dari MDG’s Program
Bekerjasama dengan UNPD untuk program SGPPTF (Small Grant Programe for Promote Tropical Forest) mendesain dan membuat strategi komunikasi serta mendisain social marketing untuk program tersebut
Kerjasama dengan CSF, memproduksi siaran radio tentang perubahan iklim, untuk jaringan radio komunitas di Lampung, Jambi dan Aceh
Melatih Menulis guru-guru di Jakarta dalam rangka meningkatkan kapasitas guru untuk memperoleh sertifikasi.
Kampanye Tentang UU Kehutanan No. 41 kerjasama dengan HuMA,melalui talkshow di beberapa radio di Jakarta dan kunjungan media ke beberapa lokasi pengem bangan
Melatih Remaja, menulis kreatif, dalam rangka meningkatkan kapasitas remaja putri, memperoleh dukungan dari Tupperware Indonesia.
Media Centre di Kampung CSO, pada pertemuan COP 13 di Bali
Minggu, 05 April 2009
Pengalaman ku dengan Perkumpulan Skala
Adakah yang lebih mencemaskan hati, ketika melihat atau mendengar satu kejadian atau momentum terlewatkan? Ketika membaca koran atau mendengar berita di radio tidak seperti kenyataan sebenarnya. Apakah semua begitu saja terlewatkan. Akhirnya, kita hanya duduk diam termangu sambil bertanya : kapankah moment itu terulang lagi? apa mungkin?
Terkadang kita sebagai jurnalist dibatasi oleh dinding-dinding kebijakan tempat kita mencari hidup. Saat nurani bicara, kepekaan kita merekam peristiwa dengan baik akhirnya kandas lantaran terbentur dinding kaca yang harus dibayar mahal bila kita memecahkannya.
Bila memang kenyataan itu yang terjadi, jangan heran kita ibarat katak dalam tempurung. Tidak berbuat apa-apa ketika semuanya hendak berlari melewati kita.
Menyedihkan sekali. Bagaimana mungkin, seorang jurnalist yang harusnya berani bicara fakta harus ingkar pada nalurinya sendiri?
Perkumpulan Skala adalah kumpulan pegiat dunia jurnalist, melihat fakta dengan hati, memperhatikan setiap detail peliputan dengan kesederhanaan. Tentunya sederhana bukannya singkat atau pendek tapi bagaimana menemukan inti berita itu sendiri yang diberitakan dengan melihat segmen yang tepat.
Dipengaruhi dengan visi yang jelas, kami tidak akan meliput tanpa orientasi. Dilanjutkan dengan strategi, karena kami sadar konsep harus nyata.
Dilanjutkan dengan pemaparan, diskusi, hal-hal yang harus dipenuhi, agar seluruh awak Perkumpulan Skala dapat mencapai tujuan dan cita-cita sejati.
Tak lupa, pentingnya jurnalisme positif sebagai sumber energi rohani, sumber inspirasi dan motivasi.
Kami adaptif dengan setiap perubahan ke arah yang lebih baik. Menjawab tantangan masa depan dengan memperhatikan setiap strategi yang memberi inspirasi, memberi kemudahan dalam implementasi, dapat dijalankan oleh semua anggota dalam perkumpulan kami.
Perkumpulan Skala bagi kami adalah payung yang ditopang dengan sebuah Grand strategy. Dibuat untuk kepentingan bersama dan bukan ambisi pribadi. Mementingkan kualitas peliputan, karena sebuah peliputan teruji pada saat mengeksekusikannya dalam tulisan. Hal ini penting, agar tidak menjadi basa-basi atau hanya sebagai penghias orasi.
Blog ini pasti tidak sempurna. Tetapi ijinkanlah saya untuk mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah bergabung dalam blog ini.
Akhir kata, Selamat membaca, selamat menikmati, semoga bermanfaat dan menghibur hati.
Antonius Ratu Gah
Sabtu, 04 April 2009
Melepaskan Burung Maleo
Melepaskan burung Maleo
Burung maleo (macrochepalon maleo) dari famili Megapodidae adalah satwa yang unik. Keunikannya terdapat pada besar telurnya dan cara meletakkan telur agar menetas. Burung Maleo tidak mengerami telurnya, tetapi meletakkan telurnya pada lubang-lubang tanah atau pasir yang digalinya terlebih dahulu dengan kedalaman antara 30-35 cm. Telur dibiarkan menetas yang lamanya mencapai 57-75 hari.
Di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, lokasi peneluran burung Maleo dapat dijumpai di Pakuli. Lokasi ini dipilih karena merupakan titk-titk sumber air panas bumi yang digunakan burung Maleo meletakkan telur-telurnya
Dari sekian banyaknya lokasi habitat peneluran Maleo di Sulawesi Tengah, diharapkan pengelola Badan Taman Nasional Lore Lindu, dapat memberikan pengakuan kepada masyarakat di desa Pakuli.
Liputan Lapangan ke Pakuli – Sulawesi Tengah
Perkumpulan SKALA
Aksi awak Green Press dan Perkumpulan Skala di COP 13
Aksi awak Green Press, Giat meliput setiap berita dari kampung CSF ( Civil Society Forum )di COP 13 Nusa Dua Bali. Selama 10 hari meng up-grade berita langsung untuk media lokal dan radio Internasional, seperti Radio Netherlands dan SBS ( Sydney Broadcasting System )dan media komunikasi nasional lainnya.
Lima P untuk memasarkan event
Lima P untuk memasarkan event
Keberhasilan setiap event, apa pun jenisnya akan sangat bergantung kepada pemasarnya dalam melaksanakan prinsip lima P pada pemasaran.
1. Product (produk)
2. Price (harga)
3. Place (tempat,lokasi)
4. Public Relation (kehumasan)
5. Positioning.
Karena tulisan ini dipersiapkan sebagai pembekalan untuk tim marketing DRR Market International Global Platform di Jenewa pada tanggal 15-19 June 2009, contoh-contoh yang ada akan banyak berbicara sekitar masalah tersebut.
1. PRODUCT
Bila sedang memasarkan event, sebaiknya kita mengetahui beberapa elemen penting seperti di atas, dan juga menjawab pertanyaan yang harus kita ajukan kepada pemrakarsa event.
1. Apa latar belakang pelaksanaan event?
Kita harusnya mampu menarik partisipasi karena kita dapat menjual esensi (makna) event-nya. International Global Platform ingin memberikan nuansa keberhasilan dan kehormatan dari suatu organisasi, dan juga nuansa kebanggaan bagi negara-negara yang mempunyai Platform Nasional PRB nya. Walaupun ini pertemuan ke dua, bisa saja event ini dibuat berkaitan dengan perayaan suatu sejarah lahirnya Platform Nasional PRB di Indonesia. Ini pertanda acara ini akan berkelanjutan untuk membangun loyalitas. Bagian yang paling penting dalam pemasaran event adalah bagaimana memanfaatkan peluang untuk menciptakan sejarah, dengan menarik perhatian orang sebanyak mungkin ke dalam aktivitas yang terpadu hingga dapat menggambarkan organisasi dan sasarannya.
2. Apa manfaat produknya?
Memunculkan pesan yang menggambarkan manfaat yang akan diperoleh oleh para peserta dalam memasarkan event menjadi prioritas. Bagaimana merancang event yang didukung dengan riset dan perencanaan yang baik menjadi kunci efektivitas pemasaran.
3. Apa keunikan produknya?
Untuk apa membuat event yang sama saja dengan event sebelumnya. Apa yang membedakan event ini dengan event sebelumnya? Pemasar yang berhasil adalah pemasar yang berhasil memenuhi harapan pengunjung, bagaimana pengalaman khusus tentang 6 Pilar menuju Indonesia yang lebih aman dan nilai tambah yang akan didapatkan oleh para peserta lainnya. Hanya dengan cara ini kita bisa membagi pengalaman yang khas dari Indonesia soal PRB dengan keunikan yang akan ditampilkan pada setiap media promosi yang dipergunakan.
II. PRICE
Event tidak selamanya diciptakan untuk mendapatkan uang, Namun ada beberapa event yang dirancang untuk impas biaya saja,bahkan tidak jarang yang diposisikan “merugi dulu” dengan harapan akan mendapat keuntungan dari hal lain. Misalnya banyak negara ingin mengetahui tentang 6 Pilar nya Indonesia yang mampu membuat Undang-Undang bencana atau cerita suksesnya pembentukan Platform Nasional. Hal inilah yang menjadi perhatian anggota dan masyarakat dunia. Event bukan hanya merupakan event yang mendatangkan keuntungan, tetapi bagaimana meningkatkan loyalitas dan kebanggaan semua anggota Planas serta berbagi succes story dengan negara lainnya.
III. PLACE
Lokasi penyelenggaraan event tidak hanya menentukan siapa pesertanya/hadirinnya, tetapi juga karakter event itu sendiri. Oleh karena itu , tempat juga harus menjadi pertimbangan pertama dalam merencanakan sebuah event.
IV. PUBLIC RELATION
Kehumasan merupakan bagian utama dari bauran pemasaran. Melalui kehumasan kita dapat mempromosikan apa saja yang diinginkan. Dalam Platform Nasional hal ini ada di Pokja empat. Kehumasan dapat mengarahkan pemikiran orang lain kepada kita dan misi kita. Kehumasan dapat juga terbentuk dari berita yang dilansir oleh wartawan yang menuliskan berita untuk koran-koran atau berupa konferensi pers yang dilakukan pada tahap-tahap tertentu sesuai dengan penahapan event yang diselenggarakan.
Kampanye kehumasan ini bukan hanya sebagai upaya untuk membangun citra positif dan produk yang dihasikan, tetapi seharusnya merupakan hal yang harus selalu dilaksanakan.
Untuk mempraktikkan kehumasan yang efektif, kita tidak harus menjadi seorang humas profesional. Pemberitaan di media komunikasi, artikel, menelepon seorang redaktur penerbitan dapat menghasilkan publikasi yang sangat efektif bagi event yang akan kita selenggarakan. Materi pemberitaan seperti ini sangat ditunggu oleh para penerbit surat kabar atau pengelola media komunikasi lainnya. Tentunya hal ini tidak hanya akan meningkatkan citara event yang akan diselenggarakan tetapi juga citra Planas itu sendiri..
V. POSITIONING
Pemasaran Event sangat bergantung pada ketepatan positioning poduk. Penjualan event yang efektif tergantung pada perencanaan pemasarannya. Ibaratnya, rencana pemasaran akan mengarahkan keberhasilan atau kegagalannya. Dan kunci pemasarannya adalah “positioing”.
Siapa yang diharapkan hadir, dimana dan apa perbedaan kita dengan yang lainnya? Bagaimana kita mengoptimalkan keunikan untuk memasarkan event kita. Bagaimana tanggapan mereka terhadap event kita. Pemasar event yang berhasil adalah mereka yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Semakin rumit pertimbangan dalam menetapkan positioning, semakin kompleks pula rencana pemasarannya. Semakin rumit rencana pemasaran, semakin kecil kemungkinan kita mampu melaksanakannya.
Jadi, sederhanakanlah, ringkas dan informatif.
Antonius Ratu Gah
Untuk pembekalan Tim marketing DRR Market
Beriklan dan Menjuallah dengan Angka, Jangan dengan kata sifat.
Beriklan dan Menjuallah dengan Angka, Jangan dengan kata sifat.
Di suatu event NGO pertengahan Februari 2009.
Semua ruangan di Jakarta Hilton Convention Centre terisi penuh dengan pemerhati bencana, baik itu pemerintah, private sektor dan NGO.
Sementara di tempat lainnya, cahaya lampu berpijar terang diantara stand-stand pameran NGO yang memaparkan cerita dan solusi tentang bencana di negeri ini
Rasanya, kok ada yang aneh ya ? hampir dua jam berkeliling melihat stand yang ada, sepertinya melihat hal serupa, senada, dan biasa-biasa saja. Hampir semua stand hanya menampilkan sisi miris dari bencana itu sendiri, walaupun ada satu dua yang menawarkan brosur tiket menuju surga.
Semua stand seolah-olah mengatakan betapa hebatnya produk tersebut. Produk itu ada yang berbentuk gagasan, pendampingan pasca bencana hingga pengurangan risiko bencana.
Produk itu secara mencolok diiklankan sebagai lebih cepat, lebih manusiawi, lebih peduli, lebih baik. Produk itu memaksimalkan, meminimalkan, mengoptimalkan. Produk itu paling handal, paling tokcer, tepat sasaran, mengurangi resiko.
Tetapi apa yang dipahami pengunjung pameran setelah membaca bahwa suatu produk “lebih manusiawi dan lebih baik dari produk lainnya”, atau lebih tepat sasaran” atau lebih mengurangi resiko bencana”? ‘Apa artinya lebih manusiawi’, seberapa “peduli’ ; seberapakah ‘lebih banyak’? Apakah ‘lebih sedikit’ sama dengan lima atau lima puluh? Setelah membaca klaim produk berbasis kata sifat, pengunjung tidak memahami apa-apa!
Al hasil semuanya menggunakan kata sifat kosong untuk menjual produk, gunakanlah angka. Gunakan fakta dan data. Biarlah fakta dan data. Biarkan fakta bicara untuk dirinya sendiri. Pengunjung pameran akan memahaminya.
Pengunjung sangat bosan dengan kata sifat yang membanggakan diri sendiri. Mereka terbiasa dengan kata sifat dan mengabaikannya. Mereka juga telah mendengar setiap iklan dalam berbagai cara. Fakta adalah hal yang berbeda. Pengunjung menyukai perbedaan, menyukai fakta, karena mereka suka memutuskan untuk dirinya sendiri. Faktalah yang menjual.
Bayangkan percakapan antara dua orang ini tentang Situ Gintung ;
Orang I : “Anda harusnya melihat jebolnya tanggul Situ Gintung. Serem
Banget.”
Orang II : “Seberapa serem?”
Orang I : “Serem banget! Banyak banget korbannya.”
Orang II : “Berapa banyak korban?”
Orang I : “Uhhh, banyak dehh pokoknya!”
Setelah percakapan ini, orang II tidak mendapatkan informasi apa-apa! Seorang yang melakukan kampanye yang baik harusnya paham hal ini,” Anda harus berkunjung dan memberi bantuan untuk korban Situ Gintung. Ada 91 korban meninggal, ada 113 orang hilang. Situ Gintung yang dalamnya 10 meter dan luasnya 21 ha lebih, menampung air lebih dari 2 juta liter kubik air jebol pagi tadi. Dapatkah kita mengatur jadwal untuk mengunjunginya?”
Atau ajakan untuk ikut program “Earth hour” pada 28 Maret 2009 dari jam 20.30 hingga 21.30 : “Marilah kita mencintai bumi kita dengan mematikan lampu selama satu jam atau “ Mari bergabung dengan 1 milyar orang untuk menyelamatkan bumi dari global warming. Listrik yang anda matikan dapat membuat terang 900 desa, menyelamatkan 284 pohon, yang pasti ; menambah oksigen bagi bumi kita.”
Jangan beriklan dan dengan kata-kata sifat yang tak memberi nilai bagi orang lain. Libatkan emosi mereka. Gunakan angka, jangan narasi. Gunakan fakta, jangan fantasi. Jangan berkhotbah; beriklanlah!
Antonius Ratu Gah
Untuk persiapan DRR Market International Global Platform
Minggu, 13 Juli 2008
Meraup untung di pasar dadakan
Oleh : Trinirmala & Nugrah A.Tama
Matahari pagi masih malu-malu menampakkan sinarnya, tetapi sebagian badan jalan Ir. H. Juanda, Depok, sudah penuh oleh pedagang dadakan. Mulai ba’da Subuh kesibukan sangat terasa di sepanjang jalan tersebut. Baju, barang rumah tangga, sayur-mayur mulai digelar oleh para pedagang. Tenda-tenda mulai berdiri, tikar plastik digelar, sementara beberapa tukang sayur seperti paham sekali akan lokasinya, mereka berkumpul persis di atas jembatan yang membelah sungai Ciliwung, disanalah mereka menjajakan dagangannya. Sementara beberapa ibu-ibu berpakaian olah raga lengkap, mulai melihat-lihat dan menawar dagangan ikan dan sayur di sekitar jembatan.
Itulah kesibukan di pagi buta Pasar kaget yang lebih akrab disebut pasar Pesona Khayangan (PK). Pasar ini selalu digelar setiap hari Minggu, jangan harap di hari-hari biasa Anda bisa memperoleh barang-barang murah disini. Karena memang, pasar kaget ini hanya ada di hari Minggu.
Pasar yang digelar di sepanjang jalan Juanda, Depok, bermula ketika pedagang yang biasa mangkal di Kampus UI, mengalami penurunan omzet, selain karena jarak yang agak lumayan jauh, pasar kaget UI inipun seringkali mengalami pengusiran oleh para tramtib, “dan lagi kalau di UI konsumennya hanya anak-anak kampus yang kebetulan kos, jadi daya belinya sangat terbatas, berbeda kalau disini banyak ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak segala usia, jelas Ibu Nunik yang kebetulan berjualan soto ayam yang mangkal persis di gerbang komplek perumahan Pesona Khayangan.
Jalan Juanda yang digunakan sebagai pasar kagetan memang pembangunannya, sudah selesai 3 tahun lalu, jalan sepanjang 5 km ini menghubungkan Depok dengan jalan Raya Bogor. Karena relatif masih sepi, sehingga jalan ini cukup aman dijadikan pasar dadakan. Selain itu untuk mencapainya pun sangat mudah Karena lokasi jalan dekat dengan beberapa komplek perumahan, sebut saja harapan baru taman bunga, sukatani permai, cimanggis permai, pesona khayangan, bukit cengkeh, pondok duta, dll.
Walaupun pasar ini kagetan, tetapi barang yang dijajakan sangat beragam, mulai dari sayuran, ikan, pakaian, makanan, kaos-kaos distro, jaket, TV, handphone, sepeda motor, sepatu, peralatan dapur, tanaman hias, dll. Kalau untuk harga, silahkan pilih mau yang harga bandroll kaki lima, atau harga ratusan ribu, mau barang lokal atau barang-barang bermerk buatan luar negeri, semua tersedia di PK.
Bila Anda tertarik membeli berbagai barang disini, jangan segan-segan menawarnya karena harga yang dipasang, sekalipun murah wajib Anda tawar. Misalnya ketika penulis melihat kaos polos di jual Rp 15.000 dua buah, ketika tawar menawar akhirnya saya berhasil membawa kaos 3 buah dengan harga Rp 20.000. Sementara tas-tas cantik model sekarang, hanya dijual seharga Rp 60.000. Begitu juga dengan pakaian, bukan hanya murah, tetapi model dan bahannya pun bukan kelas murahan. Baju-baju yang dijajakan disana, persis sama dengan yang Anda temukan di mal-mal.
Tidak hanya pakaian yang sekelas mal, kursi dan meja antik pun bisa anda temui di pasar PK, kualitasnya tidak kalah dengan yang dijual di sekitar Kemang. Harganya pun relatif murah, satu kursi kayu model stutradara berbahan baku jati hanya di jual Rp 50.000.
Tanaman juga tidak kalah peminatnya, di sepanjang jalan Juanda, lebih dari 10 tukang tanaman yang ikut menggelar dagangannya. Anthurium, violcess, dan tanaman hias yang harganya jutaan pun dapat Anda temui disini.
Kalau kebetulan Anda menyukai barang-barang mewah, tas, sepatu, dompet, ikat pinggang, topi, bermerk seperti Gucci, Louis Vitton, dll Anda bisa juga mendapatkannya di pasar ini. Ada tenda khusus yang cukup besar, hanya saja tempatnya agak disudut, tapi jika Anda memasuki gerbang Pesona Khayangan, kerumunan orang pasti mencuri peratian, karena tenda ini selalu penuh dipadati pengunjung. Ada yang sekedar melihat-lihat mata Anda pasti langsung melihat kerumunan orang yang selalu megunjungi tenda ini, karena di tenda inilah barang-arang mewah dijajakan. Harganya, pasti lebih miring.
Awalnya pasar kaget ini hanya diisi oleh beberapa pedagang makanan, mereka menempati persis di gerbang Pesona Khayangan, jalan Juanda. Konsumen mereka adalah ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak, juga remaja, yang banyak melakukan aktivitas olah raga pada hari Minggu. Nah sambil olah raga inilah kemudian beberapa ibu-ibu mulai menggelar dagangannya.
Jumlah Pedagang mulanya hanya 5 tenda, mereka memanfaatkan lahan di sekitar pintu gerbang Pesona Khayangan. Tetapi beberapa bulan kemudian, pedagang lain mulai mengisi badan jalan, mulai dari pakaian, tas, kaos, sayur, makanan mulai meramaikan pasar kaget ini. Yang berjualan pun beragam, bukan hanya mereka yang sehari-harinya memang berdagang, tetapi sebagian lapak kini juga diisi oleh mereka yang mencoba peruntungannya dengan berdagang berbagai macam pangan, pakaian dan barang-barang lainnya. Seperti Ibu Wahyu pedagang gudeg yogya, mencoba peruntungannya baru 3 bulan lalu, “Lumayan, dari jualan disini saya bisa bawa uang lebih dari Rp 800.000, dulunya saya hanya sendiri, tapi sekarang suami juga ikut bantu, sehari-hari saya kerja di Bank BTN suami pegawai negeri,” jelasnya.
Pasar PK ini memang bisa menyedot para pedagang, karena mereka tidak perlu kuatir dengan tramtib. Buat pedagang haya cukup membayar uang kebersihan Rp 2.000 untuk lapak-lapak yang berjualan di pinggir jalan, sementara pedagang yang menggunakan tenda dikenakan Rp 10.000 untuk kebersihan. Entah siapa yang membuat aturan, yang pasti pedagang dan yang mengutip sama-sama diuntungkan.
PK memang memberikan janji, bagaimana tidak, di tengah harga kios yang melambung tinggi, dan sudah tidak mungkin dijangkau oleh pedagang, pasar dadakan seperti ini sangat membantu perekonomian wong cilik. “Kami nggak mungkin berdagang di kios-kios yang disiapkan pemerintah, harganya saja sudah ratusan juta, disini, sebagian pedagang berasal dari bongkaran pasar Tanah Abang, Jelas Husin. “biar seminggu sekali tapi kami nyaman jualan disini, kalau hari biasa saya jual baju-baju ini di sekitar perkantoran, biasanya di Sudirman atau di sekitar jalan Sabang, aku Pak Husin yang menjajakan celana jeans serta pakaian-pakaian untuk pria,” tambahnya.
Pasar kagetan, ternyata mampu menyedot pengunjung, bukan saja pedagang yang diuntungkan. Pembeli pun merasakan hal yang sama, karena mereka bisa mendapatkan barang murah dengan kualitas yang baik. Sudah selayaknya pemerintah membatasi pembangunan pertokoan yang akhirnya mubazir, dan memberikan peluang dikembangkannya pasar-pasar tradisional yang menjadi penyangga utama masyarakat sektor in formal.
Kamis, 13 Desember 2007
SUARA DARI ARUS PERUBAHAN
Bisa dimaklumi, mengapa kemudian konflik terbuka begitu saja menganga, sudah puluhan tahun masyarakat menahan amarah, tuntutan yang tidak pernah ditangani dengan serius, toh, akhirnya bermuara pada tindak kekerasan. Sepanjang tahun 2000 tercatat 153 konflik yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Rupanya reformasi menumbuhkan kesadaran akan hak bagi masyarakat, mereka kemudian berani menuntut untuk mendapatkan bagian hutan yang dapat dikelola yang berada di dekat wilayah mereka. Konflik-konflik yang terjadi biasanya dengan para pemegang HPH, HTI. Tetapi di beberapa wilayah pun menunjukkan konflik muncul karena kebijakan wilayah justru tidak mengakomodir kepentingan masyarakat, ambil contoh Perda yang ada di Sulawesi Tengah yang mengatur tantang tata guna lahan. Berdasarkan SK Gubernur No. 13 tahun 1992, tanah termasuk tanah adat, dikuasai oleh negara. Sampai saat ini memang belum muncul berkaitan dengan SK tersebut, tetapi menilik isinya, suatu saat SK ini akan mejadi sandungan bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Konflik-konflik semacam ini tidak saja ada di Sulawesi Tengah. Di Lampung, Masyarakat harus berhadapan dengan Dinas Kehutanan Lampung. Konflik ini berawal ketika Register 19, di kawasan hutan lindung Gunung Betung ditunjuk sebagai kawasan hutan raya. Berbekal inilah kemudian Dinas Kehutanan berkewajiban mengosongkan kawasan tersebut dari segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, kawasan seluas 22.244 kemudian menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman (Tahura WAR).
Masyarakat yang sudah lama tinggal sebelum kawasan tersebut ditetapkan, dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal dan lahan garapannya. Awalnya pemerintah berhasil menurunkan warga dari kawasan tersebut, mereka kemudian dipindahkan ke Rawapitu, untuk menggarap lahan gambut di Tulangbawang. Proses pengosongan ini bukan tanpa konflik,, kekerasan mewarnai proses ini, pemukulan dan pembakaran rumah-rumah petani mewarnai aksi pembersihan kawasan tersebut.
Setelah era reformasi, konflik kembali memanas, masyarakat kembali menanami ladang-ladang yang dulu ditinggalkan. Bahkan jumlahnya lebih banyak setelah pendudukan kembali lahan-lahan tersebut. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, jelas cemas, karena mereka meyakini bahwa keberadaan peladang ini lebih banyak menyumbnag kerusakan, padahal kawasan tersebut merupakan sumber air bersih bagi masyarakat Lampung. Inilah yang mendasari semangat Dinas Kehutanan untuk kembali mengosongkan kawasan register 19, upaya ini dilakukan tahun 2004, sosialisasi tentang pengosongan pun sudah dilakukan sejak awal tahun 2004.
LSM-LSM di Lampung yang bekerja untuk Tahura WAR ini meyakini, dialog berbagai pihak merupakan salah satu cara untuk menjembatani keinginan dan kepentingan berbagai pihak. Dialog ini sudah digagas oleh WALHI, WATALA, SHK Lestari, Dinas Kehutanan serta berbagai elemen masyarakat lainnya. Upaya kolaboratif ini terlihat jelas arah dan tujuannya, masyarakat tak lagi mengambil kayu, mereka hanya memanfaatkan hasil hutan non kayu di Tahuran WAR. Tetapi kondisi ini juga relative tidak aman, karena suatu saat bila ada lagi perubahan peruntukkan maka setiap saat masyarakat bias aja digusur di kawaasan tersebut. Kondisi ini merupakan potret politik di Lampung, dimana eksekutif dan legislatif saling bertubrukkan, konflik ini juga akhirnya bias kemana-mana, termasuk dalam kasus Tahura WAR, karena tak ada payung hukum yang dapat melindungi posisi masyarakat.
Jawa pun mengalami hal yang sama, berbeda dengan dua wilayah yang sudah dipaparkan di atas, Jawa yang memiliki hutan hanya tinggal 14%, petani memanfaatkan hutan bekerja bersama dengan Perhutani. Refleksi dan evaluasi yang dilakuan oleh LSM-LSM yang bekerja untuk sektor kehutana, terasa ada perlakukan yang tidak adil, hasil evaluasi di Jawa Timur menunjukkan, bahwa prosentasi pembagian hasil sangat timpang, petani memperoleh 25% sementara Perhutani 75%, proses penentuan jumlah serta berbagai proses lainnya juga dirasakan tidak partispatif. Petani seringkali hanya dianggap sebagai buruh, sehingga mereka menuntut, sebaiknya PHBM (Pengembangan Hutan Berbasis Masyarakat) sebaiknya dihapuskan saja. Ketika hal ini dikonfirmasi ke Departemen Kehutanan, hal ini memang sesuai dengan Peraturan Pemerintah, dimana jumlah pembagian hasil itu adalah jumlah maksimal yang layak dinikmati petani, karena petani hanya diminta untuk menanam, merawat pohon jati, sementara dalam masa menunggu panen, petani tersebut diperbolehkan untuk memanfaatkan lahan tersebut.
Tetapi bagi petani itu tetap tidak adil, karena praktis merekalah yang mengeluarkan tenaga sampai masa panen.
Berupayakah Kita ?
Tidak adil rasanya kalau kita berpendapat, bahwa tidak ada tindakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat atapun LSM. Dibalik konflik-konflik dan kekecewaan dalam proses kerjasama dengan pihak pemerintah, toh, ada juga catatan sukses yang sudah dikembangkan oleh berbagai pihak. Masyarakat di Ngata Toro, Sulawesi Tengah merupakan salah satu catatan keberhasilan bagi masyarakat, bagaimana mereka kembali memperkuat lembaga adatnya, perempuan yang ketika itu tak lagi memperoleh peran yang sangat berarti dalam proses pengambilan kebijakan, melalui tahapan kegiatan bertahun-tahun, akhirnya perempuan kembali mendapatkan perannya.
Tidak hanya disitu, masyarakat Ngata Toro, kemudian berhasil melakukan negosiasi dengan pihak Taman nasional Lore Lindu, bahwa mereka berhak menempati areal taman nasional dan mengelolanya dengan cara mereka sendiri secara adat. Konsep ini kemudian dikenal dengan kesepakatan “Kawasan Konservasi Masyarakat”. Memang cerita sukses masih sedikit yang tersiar. Berulang-ulang dalam setiap diskusi keberhasilan ini layaknya mozaik yang terpencar-pencar. Apakah kemudian kisah sukses ini mendapat apresiasi dari Pemerintah ?
Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan, dalam setiap pertemuan selalu menyampaikan bahwa konsern mereka juga sama dengan LSM, keberpihakan kepada masyarakat yang menghuni sekitar hutan juga menjadi perhatian mereka berbagai macam program kemudian diperkenalkan, Departemen Kehutanan juga memiliki kelompok-kelompok binaan, baik di Jawa, Kalimantan maupun Sulawesi. Pembinaan ini termasuk dalam memasarkan berbagai macam produk yang dikembangkan oleh masyarakat. Tetapi Departemen Kehutanan pun tidak menampik, bahwa masih banyak persoalan yang masih menjadi PR mereka, seperti diakui oleh Staff Ahli Menteri Kehutanan Bapak Sunaryo, persoalan illegal logging merupakan persoalan rumit, yang kini sedang menajdi perhatian pemerintah. Bahkan Presiden RI juga menanggapi dengan serius, saat ini RUU illegal logging dengan dibahas dengan berbagai pihak termasuk LSM turut serta mencermati RUU ini.
Rumitnya pengelolaan hutan, menuntut berbagai pihak untuk terlibat dalam proses penyelesaiannya. Bahkan negara-negara donor, seperti Eropa, melihat betapa pentingnya menyelematkan “emas hijau” ini. Adalah Program Pebangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang bekerjasama dengan Komunitas Eropa (EC) memberikan hibah kecil dalam menunjang kelestarian hutan tropis (SGPPTF) kepada 24 LSM, yang tersebar di Sulawesi tengah, Jawa dan Sumatera.
Berbagai macam program dikembangkan oleh ke 24 LSM tersebut, diantaranya pertanian organic yang diperkenalkan oleh OPANT (Organisasi Perempuan Ngata Toro) di Ngata Toro, pengembangan pertanian ini merupakan salah satu bentuk atau cara bagaimana perempuan-perempuan dapat mengapresiasikan kemampuannya. Beberapa lahan yang sudah ditanami, kini tinggal menunggu panen, “Mungkin setelah panen yang pertama ini, hasilnya baik, dan yang lain mau mengikuti kegiatan kami,” ungkap Rukmini penanggung jawab program ini. Menanam padi organic memang hanya sebagai titik masuk, kegiatan ini merupakan bagian dari revitalisasi (penguatan kembali) kaum perempuan berikut adat istiadat yang memiliki peran dalam menjaga keleastarian alamnya. Begitu menurut Vence seorang fasilitator di Ngata Toro.
Tidak jauh berbeda dengan OPANT, SHK Lestari juga mengembangkan eko wisata berbasis komunitas. Diharapkan melalui pengelolaan wisata alam bersama dengan masyarakat, akan terbangun ekonoi masyarakat setempat. Mitra bentala pun ambil peran dalam pengembangan mangrove di kawasan Pulau Pahawang. Sebelumnya di kawasan ini, nelayan biasa menggunakan potas (bom) untuk mengambil ikan. Tahun 2000, mereka mulai dengan pemetaan, hasil pemetaan ini kemudian didiskusikan bersama dengan Pemda, DPRD, Polisi, TNI AL dan DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) salah keputusan penting yaitu pelarangan pengambilan ikan dengan menggunakan bom.
Ketika SGPPT masuk, masyarakat dengan mudah melibatkan diri dalam program ini, penyelamatan hutan mangrove yang kami lakukan, juga mengikut sertakan masyarakat .
Di Aceh, SGPPTF memberikan hibahnya kepada 2 LSM, satu memanfaatkan kemiri sebagai alat pengembangan masyarakat, yang lainnya mengembangkan bibit asli dari Aceh, seperti mahagoni, uah-buahan dan mangga.
Beberapa LSM di Jawa pun memanfaatkan dana hibah ini untuk berbagai macam kegiatan, Penyelamatan rusa dengan memanfaatkan tumbuhan jati dikembangkan oleh Lembah, kegiatan ini melibatkan pesantren dan pemerintah setempat untuk mensosialisasikan program penyelematan rusa ini, rusa Bawean dikenal sebagai rusa endemic yang hanya hidup di Pulau Bawean, jumlah rusa ini berkurang setiap tahunnya, dikarenakan habitatnya yang tidak terjaga lagi. Penyelamatan sumber daya alam, dengan melibatkan masyarakat juga diinisiasi oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) pengalaman-pengalaman masyarakat dalam mengelola hutan, RMI sebagai lembaga pendamping, berinisiatif untuk mempertemukan berbagai pihak agar masyarakat memperoleh dukungan dan pengakuan dalam mengelola hutan.
Arus Perubahan
Pengelolaan hutan kembali dihadapkan pada masalah klasik, dalam setiap kesempatan diskusi, bagaimana sebenarnya menetapkan kawasan hutan dan batas-batasnya, kemudian bagaimana mempertemukan kepetingan pengelolaan lingkungan jangka pendek, jangka panjang serta kepentingan masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Disinyalir, biang keruwetan persoalan hutan, ketika PP 34 tahun 2002, karena hanya membahas pemanfaatan tanpa mebicarakan bagaimana penguatan pengelolaannya. Kelahiran PP ini sejak awalmemang diangap sudah tidak menjawab persoalan di masyarakat, baik soal keadilan dalam memanfaatkan huan juga bagaimana dengan kepeningan masyarakat yang tingal di sekitar hutan. Tetapi Ka Humas Departemen Kehutanan Ahmad Fauzy, memastikan bahwa saat ini Pemerintah sedang berpaya merevisi PP 34 tahun 2002.
Bila melihat berbagai upaya yangdilakukan oleh masyarakat, ternyata mereka begitu liat, dengan berbagai cara mereka harus tetap mempertahankan lahan, agar mereka tetap bisa survive, arus perubahan mengalir deras dari masyarakat. Sudah selayaknya pemerintah dapat dengan gesit menjawab tantangan ini. (RN)