Tentang Kami

Perkumpulan Skala, adalah lembaga nir laba yang berbentuk perkumpulan, beranggotakan para jurnalis berdiri tahun 2005, bekerja untuk

1. Produksi dan membuat program siaran radio, penulisan artikel, serta mengembangkan dan memanfaatkan media alternatif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang issu lingkungan, pendidikan dan sosial. Kami juga memanfaatkan jaringan media untuk mengembangkan issu yang menjadi perhatian kami.

2. Meningkatkan kapasitas para jurnalis terhadap issu-issu yang yang menjadi perhatian kami, kami juga menjalin kerjasama dengan beberapa media internasional (Sidney Broadcasting Service, Deutche Welle, NKH Jepang, dll. Sebagai bagian untuk mengembangkan jaringan

3. Riset, perkumpulan skala juga mengembangkan divisi riset sebagai pendukung dalam proses penulisan dan memproduksi berbagai siaran radio.

Beberapa Program Yg Sudah Dikembangkan

Bekerjasama dengan Adkasi (Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia) untuk melatih anggota DPRD merancang anggaran yang peduli dengan rakyat (pro poor budget) memperoleh dukungan dari MDG’s Program

Bekerjasama dengan UNPD untuk program SGPPTF (Small Grant Programe for Promote Tropical Forest) mendesain dan membuat strategi komunikasi serta mendisain social marketing untuk program tersebut

Kerjasama dengan CSF, memproduksi siaran radio tentang perubahan iklim, untuk jaringan radio komunitas di Lampung, Jambi dan Aceh

Melatih Menulis guru-guru di Jakarta dalam rangka meningkatkan kapasitas guru untuk memperoleh sertifikasi.

Kampanye Tentang UU Kehutanan No. 41 kerjasama dengan HuMA,melalui talkshow di beberapa radio di Jakarta dan kunjungan media ke beberapa lokasi pengem bangan

Melatih Remaja, menulis kreatif, dalam rangka meningkatkan kapasitas remaja putri, memperoleh dukungan dari Tupperware Indonesia.

Media Centre di Kampung CSO, pada pertemuan COP 13 di Bali

Kamis, 13 Desember 2007

SUARA DARI ARUS PERUBAHAN

Banyak orang berharap, ketika terjadi pergantian pemimpin, akan terjadi pula perubahan cara pandang pemerintah terhadap pengelolaan sumber daya alam. Ternyata suka atau tidak, persoalan hutan tetap masih berjalan di tempat. Bahkan data yang ada menunjukkan bahwa justru di era reformasi, konflik-konflik kehutanan mengalami peningkatan yang sangat tajam.

Bisa dimaklumi, mengapa kemudian konflik terbuka begitu saja menganga, sudah puluhan tahun masyarakat menahan amarah, tuntutan yang tidak pernah ditangani dengan serius, toh, akhirnya bermuara pada tindak kekerasan. Sepanjang tahun 2000 tercatat 153 konflik yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Rupanya reformasi menumbuhkan kesadaran akan hak bagi masyarakat, mereka kemudian berani menuntut untuk mendapatkan bagian hutan yang dapat dikelola yang berada di dekat wilayah mereka. Konflik-konflik yang terjadi biasanya dengan para pemegang HPH, HTI. Tetapi di beberapa wilayah pun menunjukkan konflik muncul karena kebijakan wilayah justru tidak mengakomodir kepentingan masyarakat, ambil contoh Perda yang ada di Sulawesi Tengah yang mengatur tantang tata guna lahan. Berdasarkan SK Gubernur No. 13 tahun 1992, tanah termasuk tanah adat, dikuasai oleh negara. Sampai saat ini memang belum muncul berkaitan dengan SK tersebut, tetapi menilik isinya, suatu saat SK ini akan mejadi sandungan bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan.

Konflik-konflik semacam ini tidak saja ada di Sulawesi Tengah. Di Lampung, Masyarakat harus berhadapan dengan Dinas Kehutanan Lampung. Konflik ini berawal ketika Register 19, di kawasan hutan lindung Gunung Betung ditunjuk sebagai kawasan hutan raya. Berbekal inilah kemudian Dinas Kehutanan berkewajiban mengosongkan kawasan tersebut dari segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, kawasan seluas 22.244 kemudian menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman (Tahura WAR).

Masyarakat yang sudah lama tinggal sebelum kawasan tersebut ditetapkan, dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal dan lahan garapannya. Awalnya pemerintah berhasil menurunkan warga dari kawasan tersebut, mereka kemudian dipindahkan ke Rawapitu, untuk menggarap lahan gambut di Tulangbawang. Proses pengosongan ini bukan tanpa konflik,, kekerasan mewarnai proses ini, pemukulan dan pembakaran rumah-rumah petani mewarnai aksi pembersihan kawasan tersebut.

Setelah era reformasi, konflik kembali memanas, masyarakat kembali menanami ladang-ladang yang dulu ditinggalkan. Bahkan jumlahnya lebih banyak setelah pendudukan kembali lahan-lahan tersebut. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, jelas cemas, karena mereka meyakini bahwa keberadaan peladang ini lebih banyak menyumbnag kerusakan, padahal kawasan tersebut merupakan sumber air bersih bagi masyarakat Lampung. Inilah yang mendasari semangat Dinas Kehutanan untuk kembali mengosongkan kawasan register 19, upaya ini dilakukan tahun 2004, sosialisasi tentang pengosongan pun sudah dilakukan sejak awal tahun 2004.

LSM-LSM di Lampung yang bekerja untuk Tahura WAR ini meyakini, dialog berbagai pihak merupakan salah satu cara untuk menjembatani keinginan dan kepentingan berbagai pihak. Dialog ini sudah digagas oleh WALHI, WATALA, SHK Lestari, Dinas Kehutanan serta berbagai elemen masyarakat lainnya. Upaya kolaboratif ini terlihat jelas arah dan tujuannya, masyarakat tak lagi mengambil kayu, mereka hanya memanfaatkan hasil hutan non kayu di Tahuran WAR. Tetapi kondisi ini juga relative tidak aman, karena suatu saat bila ada lagi perubahan peruntukkan maka setiap saat masyarakat bias aja digusur di kawaasan tersebut. Kondisi ini merupakan potret politik di Lampung, dimana eksekutif dan legislatif saling bertubrukkan, konflik ini juga akhirnya bias kemana-mana, termasuk dalam kasus Tahura WAR, karena tak ada payung hukum yang dapat melindungi posisi masyarakat.

Jawa pun mengalami hal yang sama, berbeda dengan dua wilayah yang sudah dipaparkan di atas, Jawa yang memiliki hutan hanya tinggal 14%, petani memanfaatkan hutan bekerja bersama dengan Perhutani. Refleksi dan evaluasi yang dilakuan oleh LSM-LSM yang bekerja untuk sektor kehutana, terasa ada perlakukan yang tidak adil, hasil evaluasi di Jawa Timur menunjukkan, bahwa prosentasi pembagian hasil sangat timpang, petani memperoleh 25% sementara Perhutani 75%, proses penentuan jumlah serta berbagai proses lainnya juga dirasakan tidak partispatif. Petani seringkali hanya dianggap sebagai buruh, sehingga mereka menuntut, sebaiknya PHBM (Pengembangan Hutan Berbasis Masyarakat) sebaiknya dihapuskan saja. Ketika hal ini dikonfirmasi ke Departemen Kehutanan, hal ini memang sesuai dengan Peraturan Pemerintah, dimana jumlah pembagian hasil itu adalah jumlah maksimal yang layak dinikmati petani, karena petani hanya diminta untuk menanam, merawat pohon jati, sementara dalam masa menunggu panen, petani tersebut diperbolehkan untuk memanfaatkan lahan tersebut.

Tetapi bagi petani itu tetap tidak adil, karena praktis merekalah yang mengeluarkan tenaga sampai masa panen.

Berupayakah Kita ?
Tidak adil rasanya kalau kita berpendapat, bahwa tidak ada tindakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat atapun LSM. Dibalik konflik-konflik dan kekecewaan dalam proses kerjasama dengan pihak pemerintah, toh, ada juga catatan sukses yang sudah dikembangkan oleh berbagai pihak. Masyarakat di Ngata Toro, Sulawesi Tengah merupakan salah satu catatan keberhasilan bagi masyarakat, bagaimana mereka kembali memperkuat lembaga adatnya, perempuan yang ketika itu tak lagi memperoleh peran yang sangat berarti dalam proses pengambilan kebijakan, melalui tahapan kegiatan bertahun-tahun, akhirnya perempuan kembali mendapatkan perannya.

Tidak hanya disitu, masyarakat Ngata Toro, kemudian berhasil melakukan negosiasi dengan pihak Taman nasional Lore Lindu, bahwa mereka berhak menempati areal taman nasional dan mengelolanya dengan cara mereka sendiri secara adat. Konsep ini kemudian dikenal dengan kesepakatan “Kawasan Konservasi Masyarakat”. Memang cerita sukses masih sedikit yang tersiar. Berulang-ulang dalam setiap diskusi keberhasilan ini layaknya mozaik yang terpencar-pencar. Apakah kemudian kisah sukses ini mendapat apresiasi dari Pemerintah ?

Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan, dalam setiap pertemuan selalu menyampaikan bahwa konsern mereka juga sama dengan LSM, keberpihakan kepada masyarakat yang menghuni sekitar hutan juga menjadi perhatian mereka berbagai macam program kemudian diperkenalkan, Departemen Kehutanan juga memiliki kelompok-kelompok binaan, baik di Jawa, Kalimantan maupun Sulawesi. Pembinaan ini termasuk dalam memasarkan berbagai macam produk yang dikembangkan oleh masyarakat. Tetapi Departemen Kehutanan pun tidak menampik, bahwa masih banyak persoalan yang masih menjadi PR mereka, seperti diakui oleh Staff Ahli Menteri Kehutanan Bapak Sunaryo, persoalan illegal logging merupakan persoalan rumit, yang kini sedang menajdi perhatian pemerintah. Bahkan Presiden RI juga menanggapi dengan serius, saat ini RUU illegal logging dengan dibahas dengan berbagai pihak termasuk LSM turut serta mencermati RUU ini.

Rumitnya pengelolaan hutan, menuntut berbagai pihak untuk terlibat dalam proses penyelesaiannya. Bahkan negara-negara donor, seperti Eropa, melihat betapa pentingnya menyelematkan “emas hijau” ini. Adalah Program Pebangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang bekerjasama dengan Komunitas Eropa (EC) memberikan hibah kecil dalam menunjang kelestarian hutan tropis (SGPPTF) kepada 24 LSM, yang tersebar di Sulawesi tengah, Jawa dan Sumatera.

Berbagai macam program dikembangkan oleh ke 24 LSM tersebut, diantaranya pertanian organic yang diperkenalkan oleh OPANT (Organisasi Perempuan Ngata Toro) di Ngata Toro, pengembangan pertanian ini merupakan salah satu bentuk atau cara bagaimana perempuan-perempuan dapat mengapresiasikan kemampuannya. Beberapa lahan yang sudah ditanami, kini tinggal menunggu panen, “Mungkin setelah panen yang pertama ini, hasilnya baik, dan yang lain mau mengikuti kegiatan kami,” ungkap Rukmini penanggung jawab program ini. Menanam padi organic memang hanya sebagai titik masuk, kegiatan ini merupakan bagian dari revitalisasi (penguatan kembali) kaum perempuan berikut adat istiadat yang memiliki peran dalam menjaga keleastarian alamnya. Begitu menurut Vence seorang fasilitator di Ngata Toro.

Tidak jauh berbeda dengan OPANT, SHK Lestari juga mengembangkan eko wisata berbasis komunitas. Diharapkan melalui pengelolaan wisata alam bersama dengan masyarakat, akan terbangun ekonoi masyarakat setempat. Mitra bentala pun ambil peran dalam pengembangan mangrove di kawasan Pulau Pahawang. Sebelumnya di kawasan ini, nelayan biasa menggunakan potas (bom) untuk mengambil ikan. Tahun 2000, mereka mulai dengan pemetaan, hasil pemetaan ini kemudian didiskusikan bersama dengan Pemda, DPRD, Polisi, TNI AL dan DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) salah keputusan penting yaitu pelarangan pengambilan ikan dengan menggunakan bom.

Ketika SGPPT masuk, masyarakat dengan mudah melibatkan diri dalam program ini, penyelamatan hutan mangrove yang kami lakukan, juga mengikut sertakan masyarakat .

Di Aceh, SGPPTF memberikan hibahnya kepada 2 LSM, satu memanfaatkan kemiri sebagai alat pengembangan masyarakat, yang lainnya mengembangkan bibit asli dari Aceh, seperti mahagoni, uah-buahan dan mangga.

Beberapa LSM di Jawa pun memanfaatkan dana hibah ini untuk berbagai macam kegiatan, Penyelamatan rusa dengan memanfaatkan tumbuhan jati dikembangkan oleh Lembah, kegiatan ini melibatkan pesantren dan pemerintah setempat untuk mensosialisasikan program penyelematan rusa ini, rusa Bawean dikenal sebagai rusa endemic yang hanya hidup di Pulau Bawean, jumlah rusa ini berkurang setiap tahunnya, dikarenakan habitatnya yang tidak terjaga lagi. Penyelamatan sumber daya alam, dengan melibatkan masyarakat juga diinisiasi oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) pengalaman-pengalaman masyarakat dalam mengelola hutan, RMI sebagai lembaga pendamping, berinisiatif untuk mempertemukan berbagai pihak agar masyarakat memperoleh dukungan dan pengakuan dalam mengelola hutan.

Arus Perubahan
Pengelolaan hutan kembali dihadapkan pada masalah klasik, dalam setiap kesempatan diskusi, bagaimana sebenarnya menetapkan kawasan hutan dan batas-batasnya, kemudian bagaimana mempertemukan kepetingan pengelolaan lingkungan jangka pendek, jangka panjang serta kepentingan masyarakat yang hidup di sekitar hutan.

Disinyalir, biang keruwetan persoalan hutan, ketika PP 34 tahun 2002, karena hanya membahas pemanfaatan tanpa mebicarakan bagaimana penguatan pengelolaannya. Kelahiran PP ini sejak awalmemang diangap sudah tidak menjawab persoalan di masyarakat, baik soal keadilan dalam memanfaatkan huan juga bagaimana dengan kepeningan masyarakat yang tingal di sekitar hutan. Tetapi Ka Humas Departemen Kehutanan Ahmad Fauzy, memastikan bahwa saat ini Pemerintah sedang berpaya merevisi PP 34 tahun 2002.

Bila melihat berbagai upaya yangdilakukan oleh masyarakat, ternyata mereka begitu liat, dengan berbagai cara mereka harus tetap mempertahankan lahan, agar mereka tetap bisa survive, arus perubahan mengalir deras dari masyarakat. Sudah selayaknya pemerintah dapat dengan gesit menjawab tantangan ini. (RN)

Tidak ada komentar: